Ragil Saputri: cerbung
{CERBUNG - PADA SECANGKIR CAPPUCINO ) PART 2 – MAGDA

{CERBUNG - PADA SECANGKIR CAPPUCINO ) PART 2 – MAGDA



Mengeluarkan sejuta kata umpatan di hari menjelang siang, dengan posisi badan yang kekurangan asupan, karena pagi tadi ia melupakan sarapan nasi goreng jawa paling enak buatan sang nenek tercinta, sungguh menguras seluruh kedamaian jiwa dan raga seorang Magda.

Dengan langkah tergesa-gesa, tanpa menghiraukan orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan, kaki Magda melangkah dengan pasti ke satu tujuan. Ia butuh secangkir hangat cappucino, untuk meredakan emosinya yang sedang tidak stabil.

Sial memang hari ini, Magda seorang freelancer arsitek yang tidak terikat dengan satu lembaga apapun, job yang ia dapat biasanya dari para patner sebelumnya, sistem pemasaran dari mulut ke mulut ternyata ditengah zaman yang serba canggih tetap sangat berperan penting.

Desain rumah minimalis bertingkat satu menjadi penyebab dari segala kesialan Magda hari ini, padahal ini sudah lebih dari sebulan ia mengerjakannya. Si pemesan selalu saja mempunyai bahan untuk menolak desain yang Magda ajukan, yang lebar ruangannya kuranglah, yang harus ada ruangan inilah, padahal Magda mengerjakannya sudah dengan segenap jiwa raga dan sangat teliti sekali dan ia sudah mencatat semua poin-poin penting yang klien ajukan. Ingin rasanya Magda melepar tas tabung yang selalu ia bawa ke muka sang klien, untung saja Magda mampu menahan emosinya dengan baik.

Mata bulat Magda dalam sekilas tahu bahwa di ujung belokan jalan depan ada toko bunga, membelikan bunga untuk seseorang yang sangat penting dalam hidup Magda merupakan pilihan jitu untuk mengembalikan kecerahan hari ini.

“Setangkai bunga ditambah secangkir cappucino, Magda ucapkan selamat tinggal untuk kesialan hari ini.” Ucap Magda pada dirinya sendiri, kemudian ia mempercepat langkahnya menuju toko bunga.

Bunyi ‘selamat datang’ menjadi ucapan penyambutan bagi siapa saja yang masuk ke toko bunga yang bernama “BungaKu”, Magda sudah lama menjadi langganan toko bunga ini, karena memang letaknya tidak jauh dari cafe kopi yang juga menjadi langganan Magda.

Magda memperhatikan suasana toko, biasanya akan ada satu pelayan yang menjaga toko bunga ini, tapi saat ini Magda tidak menemukan sosok pelayan itu. Sambil menunggu kedatangan pelayanan toko, Magda melihat-lihat bunga yang dijual di toko.

Sebuah tepukan di bahunya, menghentikan aktivitas Magda dari memperhatikan sekumpulan bunga-bunga yang indah.

“Kamu bikin kaget aja Ton.”
“Maaf, tadi pas kamu datang aku pas mau ke belakang, lagi nyari bunga apa?”
“Aku ingin nyari bunga, yang pas dilihat langsung bikin gembira, ada nggak bunga seperti itu?”
“Kalau aku tidak perlu beli bunga, lihat kamu sekarang aja, sudah cukup buat aku bahagia selama satu minggu.”
“Recehan, banget kamu Ton.”

Tony yang mendengarnya cuma tersenyum dan kemudian sibuk memilih bunga sesuai pesanan nona cantik yang kini ada di sebelahnya.

“Tumben hari ini gak secerah biasanya kamu Ma? Ada masalah lagi sama klien yang kemarin?”
“Iya, kalau saja aku tidak ingat aku butuh uang, aku udah lempar sama tas tabung ini.”

Tony tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Magda, sambil menyerahkan rangkain bunga yang begitu indah kepada Magda.

“Aaaahhhh, Tony kamu selalu tahu apa yang aku mau. Terimakasih banyak. Kamu memang yang terbaik.”

Sebuah pelukan yang Magda berikan sebagai salah satu bentuk ucapan terimakasih karena sahabatnya itu telah memberikan rangkaian bunga yang indah untuknya. Tony kaget dengan pelukan yang Magda berikan, yang dia bisa lakukan adalah mengelus punggung Magda dengan sayang, ia sungguh sangat mencintai gadis ini.

Setelah dengan sedikit paksaan dari Magda akhirnya Tony menerima uang pembayaran bunga, bagi Tony memberikan bunga buat Magda tidak akan membuatnya bangkrut, tapi sayangnya Magda berfikir lain. Melihat kebahagian dari orang yang kita sayang adalah segalanya apalagi saat kita tahu bahwa kitalah yang menjadi alasan dia bahagian. Cukup bagi Tony melihat Magda bahagia, dan ia selalu ingin menjadi alasan bahwa karena dirinya Magda bahagia.

Dalam perjalanan yang hanya beberapa langkah saja dari toko bunga milik Tony menuju cafe kopi, Magda menghela nafas panjang, Magda tahu betul bahwa Tony mencintai dirinya. Cinta yang bukan hanya sekedar cinta kakak kepada adiknya. Jika mengingat akan hal ini, selalu ada gurat kesedihan yang terpancar dari sorot mata Magda.

Bagi Magda bisa setiap saat melihat Tony di toko bunganya itu sudah cukup, meski seperti tadi ia kelepasan memeluk Tony, kebiasan Magda yang masih belum bisa hilang jika Tony selalu bisa membuatnya tertawa bahagia.

Apa yang lebih menyakitkan dari hal ini, tak ada pilihan untuk cinta ini, setidaknya begitu yang selalu Magda katakan pada dirinya.

Tanpa Magda sadari dari kejauhan, Tony masih menatap gadis yang kini melangkah makin menjauh. Gadis yang sampai detik ini masih terus mengisi ruang kosong di hatinya. Jika Tony mampu Tony ingin menukar segala apa yang ia punya demi mendapatkan Magda, sayangnya semesta tak pernah memberikan pilihan untuk Tony.

Pintu cafe kopi Magda dorong bersamaan dengan bunyi selamat datang. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, saat ia melihat tempat duduk favoritnya masih kosong ia bergegas menuju  ke tempat tersebut.

Setelah meletakan tas tabung dan tas rasel di kursi satunya, Magda segera memesan pesanan yang ia inginkan.

Jika ada beberapa cafe yang pelayan datang ke meja customer untuk menayakan pesanannya, tapi di cafe kopi ini pembeli yang akan menuju ke counter pesanan, kemudian sama pelayan diberikan papan angka yang bisa diletakkan di meja, dan angka tersebut sama dengan angka pesanan. Kemudian jika sudah jadi pesanan akan diantar ke meja yang sesuai dengan angka pesanan beserta struk bukti pembayaran yang harus dibayarkan.

Jam masih menunjukkan pukul 10.30 Magda memutuskan memesan secangkis cappucino serta cake kopi coklat kacang. Magda butuh pengganjal perutnya kosong hingga sampai waktunya nanti makan siang. Siang ini Magda berjanji akan makan siang di rumah kakek neneknya dan juga adik satu-satunya.

Jika kebanyakan orang selalu mengatakan jangan pernah minum kopi saat perut kosong, bisa mengakibatkan sakit perut dsbnya, tapi lain bagi Magda, karena menurut Magda kopi adalah sahabat baiknya, jadi ia tidak akan mungkin menyakiti sahabatnya. Magda pecinta kopi dan segala macam jenis olahan dari kopi.

Sambil menunggu pesanannya datang, Magda membenarkan ikat rambutnya sambil memandangi bunga pemberian Tony. Selalu saja seperti ini, getaran halus yang menyusup ke dalam hatinya yang selalu ia rasakan jika berkaitan dengan Tony. Kebahagiaan yang selalu diikuti dengan kesedihan seperti bercampur aduk menjadi satu.

Bunyi gesekan di meja membuat fokus Magda teralihkan.
“Maaf mbak, aku tadi Cuma pesan cappucino dan cake kopi coklat kacang aja, kenapa ia ada pesanan lain.”
“Iya mbak, cake ini spesial dari kami untuk Mbak sebagai salah satu pelanggan Cafe Kopi kami.”
Magda ingin meminta penjelasan lebih kepada pelayan cafe, tapi kedatangan seorang pria tepat di belakang pelayang membuat Magda mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih.

-----TBC-----



 catatan : gambar cover diperoleh dari pixabay.com
sebenarnya cerita ini ditulis pada Juli tahun 2018, udah setahun lebih ya, apakah cerita ini sudah selesai dikerjakan? jawabanya adalah belum, di laptop cuma sampai part 2 saja. Semoga dengan diposting di blog ini bisa selesai. Terimakasih.


(PART 1) CERBUNG -  PADA SECANGKIR CAPPUCINO

(PART 1) CERBUNG - PADA SECANGKIR CAPPUCINO



PART 1
DONI
“Mas Doniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.”

Teriakan kencang adik perempuanku satu-satunya menggema di rumah ini. Pagiku selalu diawali dengan teriakan Bella. Kulihat jam dinding bergambar logo salah satu bank swasta di Indonesia sudah menunjukkan pukul 07.00.

Mungkin bagi beberapa orang kebanyakan pagi selalu dimulai dari aktivitas bangun pagi. Tapi bagiku, Bella dan teriakannya adalah kombinasi yang pas untuk mulai hari. Setiap pukul 07.00 pagi atas perintah ratu rumah untuk memanggilku sarapan, Bella selalu berteriak dari dapur. Padahal sang Ratu tidak pernah menyuruh untuk memanggil dengan cara berteriak.

“Ibu kan udah pernah bilang, jangan teriak kalau manggil mas mu, datangi ke kamarnya dan ketuk pintunya, itu lebih baik dan kamu ini perempuan. Ya Tuhan kenapa kamu jadi kayak tarzan yang hidup di hutan.”

“Aduch Ibu ini ya, Mas Doninya aja yang manja. Udah tahu kalau jam 7 pagi harus sarapan pagi bareng, terus aja tiap hari minta diteriakin. Mau sampai kapan, mau sampai tempe jadi kedelai lagi.”

Dan itulah setiap pagi selalu saja begitu. Ibu yang tak pernah bosan menyuruh Bella memanggil ku meski selalu dilakukan dengan teriak dan aku yang selalu turun setelah mendengar teriakan Bella. Dua wanita yang sudah seperti udara bagiku.

Aku tinggal hanya dengan para bidadari calon penghuni surga. Ibu dan Bella. Ayah sudah meninggal sejak 5 tahun yang lalu. Kami bertiga tinggal di sebuah rumah yang berlantai dua yang cukup sederhana. Aku dan Bella menempati kamar yang ada di lantai atas. Sementara semua aktivitas di rumah ini ada di lantai bawah. Ibu sudah setahun ini hanya di rumah saja, sebelumnya Ibu jualan soto ayam di kios yang letaknya ada di depan pasar. Karena sering merasa lelah dan tangannya sering merasa kram, akhirnya aku dan Bella menyarankan kepada Ibu untuk istirahat di rumah saja. sementara Bella, adik ku yang bandel itu udah tahun kemarin lulus SMA, sekarang sedang merintis usahanya sendiri yaitu jualan hijab, waktu aku bilang gak usah jualan tapi bantu-bantu di cafe aja, katanya dia gak ingin diperintah, meskipun baru merintis dia bilang, dia sudah jadi bos. Kalau Mas Doni aja bisa jadi bos kenapa aku gak bisa. Lantai bawah sebagian ruangan sudah disulap menjadi toko milik Bella, ada ruang tamu kecil, diantara ruang tamu dan meja makan ada sekat berupa lemari hias tempat ibu menaruh foto-foto kenangan.

“Don, nanti ibu ikut kamu berangkat ke cafe ya, tapi ibu turun di pasar, mau belanja.”

Ibu berkata kepadaku setelah aku duduk di kursi dan mengambil menu sarapan pagi ini yang sangat enak. Ada pecel bayam dan kacang panjang sementara lauknya ada tempe yang dibalur tepung dan tak ketinggalan setoples kerupuk.

‘Ibu sendirian aja ke pasarnya, kenapa gak ngajak Bella Bu.”

“Aku masih belum selesai bungkus barangnya Mas, nanti aku jemput ibu. Soalnya pesanan ini harus sudah dikirim sebelum jam 10 pagi. Nanti habis dari tempat pengiriman aku jemput ibu ke pasar.”

“Ya sudah kalau begitu, Oh ya Bu dan Bella, nanti kemungkinan besok aku mau rilis menu baru di cafe, hari ini percobaan terakhir, rencananya mau dicoba ke beberapa pengunjung cafe, doakan sukses dan semua suka ya Bu dan Bella.”

Bella yang masih mengunyah makanannya Cuma mengacungkan dua jempolnya sementara ibu tersenyum dan mengelus puncak kepalaku. Aku tahu dibalik itu semua mereka pasti mendoakan yang terbaik untuk ku dan pastinya mereka juga tahu kesedihan yang aku rasakan.

******

“Mas Doni, bagaimana persiapan menu baru cafe kita.” Tanya Agus, salah satu karyawan di cafe ini.

“Kemarin, kata anak-anak gimana waktu nyoba?”

“Mereka bilang sih enak Mas Doni, malah Siska dan Reno itu rebutan mau nambah lagi dan mau bawa pulang juga.”

Aku tertawa membayangkan Siska dan Reno, dua karyawan aku yang tampak kayak kucing dan anjing tapi nempel kayak perangko dan amplop surat. Sementara Siska dan Reno salah tingkah, seperti mereka berdua tidak menduga bakalan di laporkan.

“Ya udah berarti memang enak. Ya sudah hari ini percobaan terakhir dan kita coba ke beberapa pengunjung hari ini.”

“Oke Mas Doni. Kami siap.”
Kini aku dan beberapa karyawan ku sedang kumpul bersama di meja yang biasanya menjadi tempat anak-anak untuk menyiapkan keperluan cafe. Jika di perkantoran mungkin apa yang aku lakukan disebut metting pagi. Hal ini selalu aku lakukan agar aku dan semua karyawan tahu apa-apa saja yang akan kami lakukan hari ini.

Cafe CANGKIR KOPI, aku dirikan setahun setelah bapak meninggal. Semua menu di cafe ini adalah menggunakan bahan dasar kopi. Aku, Bapak, Ibu dan Bella semua pecinta kopi. Bahkan menurut Ibu kakek nenek dari pihak Bapak juga merupakan pecinta kopi. Cangkir Kopi memilik 5 karyawan. Aku sebagai owner juga merangkap sebagai koki utama dan satu-satunya di cafe ini. Satu orang dibagian kasir dan menerima pesanan dari pembeli. Sementara sisanya adalah pelayan. Sedangkan aku cukup dibantu oleh Agus.

Cafe ini aku bangun dengan seganap hati dan pikiran ku. Aku ingin mewujudkan cita-cita kakek, bapak waktu itu pernah bilang bahwa kakek ingin punya sebuah kedai kopi. Cangkir Kopi adalah bukti bahwa aku bisa mewujudkan impian kakek. Butuh perjuangan yang tidak sedikit untuk membuktikan bahwa cafe ini memang layak diperhitungkan.

Perjuanganku tidak sia-sia. Cafe ini meskipun masih kecil tapi tiap hari selalu ramai pengunjung.

******
“Mas Doni, bagaimana menu barunya sudah siapkah?, kalau sudah siap mungkin bisa kita coba berikan kepada pengunjung siang ini.”

Aku mengacungkan dua jempolku ke arah Agus, bahwa menu barunya sudah siap untuk dihidangkan ke beberapa pengunjung.

Menjelang jam makan siang, biasanya jumlah pengunjung memang lebih banyak. Aku melepas apron hitam yang melekat di tubuhku sejak tadi pagi.

Tepukan tangan Agus di bahu belakangku sedikit membuat aku kaget. Sambil mengkuti berjalan di belakangku, aku rencananya ingin mengistirahkan badanku di ruangan ku. Tapi perkataan Agus menghentikan langkahku.

“Mas Doni, mbak cappucinonya sudah datang, sekarang sedang duduk di kursi dekat jendela.”

“Anak-anak pengen ngasih menu baru ke Mbak Cappucino, Mas Doni gak ingin dengar langsung komentar dari pelanggan cafe kita Mas?”

“Ya sudah, suruh mereka siapkan, nanti biarkan aku saja yang ngantar ke mejanya.”

Agus langsung melesat ke arah dapur, sedangkan aku sambil menunggu anak-anak menyiapakan hidangan. Aku melihat dari jendela kaca ruangaku sosok perempuan yang selalu anak-anak sebut ‘mbak cappucino’.

Ruangan ku memang sebagian sisinya ada yang aku sengaja buat dari kaca tebal tembus pandang, jadi di satu sisi aku bisa melihat anak-anak yang sedang bekerja dan di satu sisi aku juga bisa melihat pelanggan yang datang.

Perempuan itu masih sibuk dengan ponsel di tangannya. Sesekali ia menyingkap helaian rambut yang jatuh dan entah kenapa gerakan yang mungkin menurut orang biasa itu begitu menarik bagiku.

-----tbc-----




Formulir Kontak