Ragil Saputri: Cerpen
{Cerpen} BERTEMU UNTUK SEBUAH PERPISAHAN

{Cerpen} BERTEMU UNTUK SEBUAH PERPISAHAN


Semua tampak serba terburu-buru, semua seperti berlomba-lomba untuk mempercepat langkah kakinya, semua berlomba-lomba untuk sampai tujuan lebih dahulu, tapi tidak dengan seorang wanita yang sedang duduk di ruang tunggu itu. Bandara ini tidak pernah sepi, selalu saja setiap hari banyak orang yang datang dan pergi. Tapi siapa peduli dengan hal itu.


Wanita itu duduk dengan meluruskan kakinya dan punggung yang bersandar pada kursi besi yang sepertinya terasa sangat dingin, karena hujan masih belum reda dari semalam. Di sebelahnya ada tas ransel yang tidak terlalu besar dan dia juga memakai tas pinggang berwarna orens dengan motif bunga, dengan lengan tangan bagian bawah ia menutup kedua matanya, sementara tangan kirinya ia letakkan di atas tas ransel. Wanita itu tampaknya tidak peduli dengan keadaan di sekitarnya. Ia menikmati dunia yang ia ciptakan sendiri. Berpetualang entah ke mana yang ia mau.


Ia membuka matanya saat merasakan ada sesuatu yang hangat seperti menempel di lengannya.


“Maaf, cappucino hangat, saya perhatikan kamu sudah cukup lama dalam posisi seperti ini?”


Si wanita masih menatapnya, bukan menatap curiga, tapi ia butuh penjelasan lebih dari sekedar permintaan maaf.


“Saya memang lagi butuh teman ngobrol, saya awalnya duduk di bangku sebelah sana, coba tebak aku duduk di sana sejak kapan?”


Sambil menerima cappucino dia tetap diam, dan sama sekali tidak tertarik menjawab lawan bicaranya.


“Aku duduk di sana dari semalam, aku merasa seperti jadi penguasa bandara ini.”


“Terus apa yang kamu lakukan?” sambil menenggak cappucino. Cappucino masih sama rasanya meski semuanya sudah berbeda, dan tidak ada kamu di sini.


“Ternyata kamu bisa ngomong, aku perhatikan dari kamu tiba di sini, aku kira kamu nggak bisa ngomong dan kamu bisa tersenyum juga ternyata.”


“Aku manusia bukan boneka kalau kamu tahu.”


“Baiklah sepertinya aku ada teman ngobrol baru.”


“Sudah berapa tempat yang kau kunjungi”


“Baru akan memulai, ini bakalan menjadi tujuan pertamaku.”


“Berpetualang memang obat penyembuh yang luar biasa.”


“Kita baru bertemu pertama kali, tapi kamu sudah sok tahu ya. Aku keliatan seperti orang berpenyakitan memang.”


“Dan kamu, malah sudah menyebutkan ‘kita” padahal baru bertemu juga. Ha ha ha secara fisik kamu sehat 100% aku yakin itu. Tapi dari sorot matamu aku tahu bahwa ada bagian di dalam dirimu yang sedang ingin disembuhkan.”


“Paranormal?”


“Aku pernah berada di dalam kondisi sepertimu?”


“Memang kondisi aku sekaraang seperti apa? ada yang salah?”


“Mata sembab, kantong mata hitam, sorot mata yang berusaha untuk mengatakan bahwa aku akan baik-baik saja.” Dalam sekian waktu mereka berdua saling menatap, saling menemukan diri mereka masing-masing dan mereka seperti berpetualang menyelami hati masing-masing.


“Bukankah semua orang memang harus terlihat baik-baik saja di depan semua orang.”


“Dan dengan pergi menjauh dari mereka semua, Agar kamu memang tampak terlihat baik-baik saja.”


“Tapi aku rasa tidak ada yang peduli, hari ini hari pernikahannya, padahal kemarin pagi kita masih bersama, meminum cappucino hangat bersama. Dan sekarang semua sudah berbeda.”


“Dan sekarang kamu sedang meminum cappucino hangatmu dengan orang yang baru kamu kenal?, semua memang cepat sekali berubah, tapi cappucino akan tetap sama, hangat dan menenangkan, bukan begitu?”


“Iya, aku rasa benar.”


“Mau perpetualang kemana, untuk petualang pertama dalam rangka mengobati sakit hatimu?”


“Maluku. Kamu.”


“Aceh.”


“Ini petualangan ke berapa?”


“Entah, selama uang di rekening masih aku sepertinya akan terus berpetualang.”


“Dan sampai di saat hatimu mengatakan berhenti. Benar?”


Kini mereka berdua saling diam, menyelambi hati dan pikiran masing-masing. Hujan sudah tidak turun, beberapa penerbangan yang di tunda karena masalah cuaca sudah mulai akan berangkat.


“Sepertinya kita harus berpisah sampai di sini. Kamu ke Maluku dan aku ke Aceh. Ada yang ingin kamu katakan?”


Setelah petugas bandara memberikan informasi penerbangan mana saja yang akan segera melakukan pemberangkatan.


“Emm, semoga menikmati petualanganmu.”


“Aku harap kita akan bertemu kembali, dan di saat itu kamu sudah menemukan kebahagianmu dan tentunya bersama cappucino hangat lagi.” Dia berkata sambil mengoyangkan gelas cappucinonya.


“Dan tentunya aku yang menantraktirmu.” Jawab si wanita.


“Baiklah, aku harus pergi ke arah sana, aku tidak mau ketinggalan pesawat lagi. Selamat menikmati petualangan pertamamu.”


Pria itu menarik kopernya, baru beberapa langkah wanita itu memanggilnya ‘Hey’ dia menoleh dan mengacungkan jempol sebagai jawaban ucapan wanita itu.


“Terimakasih untuk hari ini, selamat berpetualang untukmu juga”


Dan mereka berdua berpisah di Bandara ini. Mereka bertemu pertama kali di Bandara, dan mereka harus berpisah di tempat yang sama juga.


Keduanya saling berjalan berlawanan arah, tidak ada yang sama sekali berniat menoleh ke belakang lagi, mereka akan berpetualang melalui jalan mereka masing-masing, jalan yang mereka pilih sendiri. Dan mereka tidak akan tahu takdir seperti apa yang akan mereka hadapi. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan hidup memang tak lebih dari sekedar berpetualang.

 

-----end-----


Cerpen ini di buat untuk mengikuti minggu tema dari 1M1C (1 Minggu 1 Cerita) dan tema di minggu ini adalah Berpetualang.

 



 {CERPEN} APA ISI TAS MU?

{CERPEN} APA ISI TAS MU?

 


Tas buntut yang warnanya sudah tidak bisa didefinisikan itu, dipeluk erat oleh sang empunya. Kaki gemetar padahal udara tidak terlalu dingin, mungkin ia takut karena tiba-tiba panitia melakukan sidak terhadap tas bawaan masing-masing peserta.


Ia bisa apa? tinggal beberapa orang lagi adalah gilirannya. Sungguh jika bisa ia ingin lari sekencang-kencangnya dari tempat ini dan bersembunyi di tempat yang paling aman. Tapi di mana tempat itu?


Ketakutannya membawa dirinya kepada kejadian beberapa jam yang lalu. Beberapa jam yang mungkin akan mengubah nasibnya, entah berubah menjadi baik atau malah lebih buruk dari tas peninggalan sang kakak yang sudah bertahun-tahun menemaninya itu.


“Nduk, kamu jadi berangkat siang ini to?”


“Nggeh Bu, saya berangkat siang. Nanti mungkin bareng sama Tari aku berangkatnya.”


Si ibu hanya mengangguk dan kemudian mengambil tas selempang yang ia ketahui sekarang sudah berpindah kepemilikan, dari sang kakak berpindah kepada adiknya.


Tas selempang yang ditaruh di kursi dipan itu, segera di taruh di dalam pangkuannya. Warnanya sudah pudar tapi kainnya masih tampak kuat, resleting dan beberapa kancing yang melekat juga masih bisa bertahan meski sudah puluhan tahun menemani.


“Kamu bawa apa aja, jangan lupa kemarin yang ibu kasih tahu? “

“Iya bu sudah, ini bukan perjalanan aku yang pertama kan bu. Tapi ibu masih saja khawatir aku, terutama benda itu.”


“Iya, Maafkan ibu ya, ibu cuma khawatir itu saja.”


Dibukanya tas yang ada di pangkuannya, meski sudah beberapa kali anaknya berpergian tapi ia masih saja terus melakukan hal itu, memeriksa tas selempang bawaan anaknya.


“Hand Sanitaizer, Masker Cadangan, Buku note, pulpen,  Mukena, Botol minum, Tisue. Semua sudah kamu bawa. Tapi tunggu 2 wadah plastik yang sudah ibu siapkan di mana?”


“Iya Bu, tenang ini sedang aku ambil di dapur. Ini kan yang selalu ibu berikan kepadaku setiap aku mau meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama. Mana mungkin aku lupa.”


Si Ibu tersenyum sambil menerima 2 wadah plastik yang baru saja diambil dari dapur dan memasukkannya ke dalam tas bercampur dengan masker, tisue dan sebagainya itu.


“Kamu hati-hati ya Nduk di sana. Jangan aneh-aneh, jangan melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri atau merugikan konco-koncomu.”


“Siap Bu, Aku berangkat setelah makan siang bu, nanti Tari juga mau mampir sekalian pamitan dengan Ibu juga.”


Dan kini dia sekarang di sini, bersama Tari dan teman-teman yang lain, mereka sedang mengikuti pelatihan dari tempat kerja mereka. Tapi saat para peserta akan berisitirahat di kamar setelah mereka selesai makan malam di hotel tempat mereka menginap, panitia membuat kejutan, bahwa semua peserta harus datang ke salah satu ruangan yang di hotel itu, ruangan itu tampak seperti aula, yang sangat luas dan tentunya dingin.


“Kalian semua tahu kenapa dikumpulkan di ruangan ini.” Jeda sejenak ia melanjutkan perkatannya.


“Saya kecewa pada kalian semua, acara pelatihannya saja belum di mulai, tapi salah satu dari kalian ada yang membuat ulah dan merugikan kita semua. Seharusnya ini kalian bisa duduk santai sambil nonton tv di kamar hotel, tidak seperti ini malah disuruh datang ke ruangan ini.”


Seketika bisik-bisik di ruangan itu terdengar dan menimbulkan suara bising.


“Braaaaaak”


Gambar oleh Goran Horvat dari Pixabay


Suara meja itu membuat semuanya diam seketika. Tidak ada yang berani mengucapkan sepatah katapun, semua menunduk dan deru nafas merekapun tampak pelan, raut wajah merah dan sepertinya semua ketakutan.


“Selepas kalian makan malam, salah satu dari kalian ada yang melapor kepada panitia, bahwa ia kehilangan sebuah kalung, dia mencurigai salah satu dari kalian semua adalah yang mengambilnya. Maka dari itu kami selaku panitia mengumpulkan kalian di sini dan akan memeriksa tas kalian masing-masing, setuju tidak setuju ini adalah perintah.”


“Silahkan berbaris yang rapi, pegang tas kalian masing-masing, ada akan ada giliran untuk memeriksa tas kalian. Lakukan !!!”


Satu persatu tas para peserta sudah di periksa, tinggal beberapa orang lagi yang belum di periksa,dan tanda-tanda kalung itu ditemukan belum terdeteksi.


“Maaf Dek, bisa saya buka tasnya.” Mungkin hanya ini panitia yang masih bersuara pelan dan tidak membentak, terdengar tulus.


Dia masing memegang erat tasnya, tiga kali kakak panitia meminta tasnya bahkan tidak digubrisnya sama sekali. Dan tinggal dirinya saja yang belum diperiksa. Tiga panitia laki-laki datang mendekat, semua yang ada diruangan ini memandang ke arahnya, dia masih menunduk dan tidak mau menyerahkan tas usang itu. Semua menatap curiga, dan bisikan kecil akan kemungkinan terburuk semakin berkembang bebas.


Ketiga panitia berhasil menarik tas dari genggamannya meski dengan sedikit paksaan. Karena sedikit emosi, salah satu panitia itu tidak memerikasanya dengan hati-hati, tapi langsung mengeluarkan semua isi tas dengan cara tas di buka dan diangkat di atas meja, tidak peduli bagaimana nantinya apakah ada barang yang rusak atau tidak.


Dalam hitungan detik, semua isi di dalam tas keluar, ada yang pas mendarat di meja, tetapi ada juga yang jatuh ke lantai, semua tampak berhamburan. Si empunya tas masih tetap menundukkan kepalanya.


Dua wadah plastik menjadi perhatian para panitia. Salah satunya membuka wadah itu dan terkejut melihat isi di dalamnya.


“Kamu sakit apa, kenapa bawa obat sebanyak ini.” dia masih menunduk, dia tahu bahwa mungkin dalam hitungan detik salah satu dari panitia atau salah satu dari peserta akan tahu rahasianya. Keringat dingin sudah membasai sekujur tubuhnya, ia ingin lari dan berteriak dan menangis. Sungguh ia tidak suka dengan keadaan seperti ini.


Gambar oleh Reggi Tirtakusumah dari Pixabay


Seseorang mengambil obat itu dan membacanya merk obat itu, ia sangat terkejut terlihat dari sorot matanya. “Obat anti depresan dosis tinggi.” Ucapnya dalam hati setelah mengetahui jenis obat yang ada di dalam wadah plastik. Kemudian ia melihat dan menatapnya, tubuhnya tampak bergetak,keringat dingin sudah tampak di wajahnya. Tanpa ada yang menyadari mulutnya tampak menggumamkan sesuatu tapi tidak ada yang mendengarnya. Ia harus menghentikan acara sidak ini, itu yang ada dalam pikirannya, tapi sebelum ia mengatakan itu dia dikejutkan oleh sebuah suara, reflek ia menoleh ke arah sumber suara.


“Apakah kalung mu seperti ini?” Panitia itu mengakat tinggi-tinggi kalung yang ditemukan di dalam wadah plastik satunya. Seseorang mendekat dan mengambil kalung itu, kemudian ia mengatakan “ia kak, ini persis dengan kalung saya yang hilang.”


Dia mendengar dengan jelas apa yang dikatakan teman pesertanya itu,  panitia yang tampak mengerti akan jadi seperti apa jika ini diteruskan, berusaha untuk meminta pengertian kepada semua panitia. Kemudian dia mendekat kepada peserta yang masih diam meski tasnya sudah diacak-acak dan semua mata dengan tatapan menuduk jelas dialamatkan kepadanya.


“Dek, kita kembali ke kamar yuk. Sambil menyerahkan tas yang sudah ia beresi.”


“Aku tidak mencuri, dia yang jahat, aku tidak mencuri dia yang jahat. Aku tidak mencuri dia yang jahat.” Kini ia bisa mendengar dengan jelas apa yang digumamkan anak itu.


****




“Dek kamu jaga kalung ini ya, punya kakak kan sudah hilang,  jadi nanti kalau kau melihat seseorang memakai kalung yang sama dengan ini, kamu jangan harus segera lari, karena dia orang jahat.” Setelah mengatakan itu sang kakak pergi untuk selama-selamanya.

 

-----End------


{CERPEN} MEMANG BEDA, TAPI APAKAH SALAH?

{CERPEN} MEMANG BEDA, TAPI APAKAH SALAH?



Bunyi gemericik air sudah terdengar dengan jelas, memberi tanda bahwa salah satu penghuni rumah itu sudah bangun. Padahal kalau melihat suasananya masih terlalu pagi untuk bangun pagi, sebagian besar penduduk kampungpun sepertinya masih nikmat terbuai oleh hawa dingin. Tapi setiap manusia selalu punya dua pilihan dalam hidupnya, yaitu bangun untuk mewujudkan mimpi atau tidur untuk melanjutkan mimpinya.


Ranti nama gadis itu, dia sudah bangun dari satu jam yang lalu dan kini Ranti sedang membantu ibunya mencuci beras untuk dimasak, sementara sang ibu tampak cekatan membungkus minuman susu kedelai yang masih sangat hangat. Dan tak lama kemudian sang bapak tampak juga baru pulang dari masjid selesai menunaikan shalat subuh berjamaah.


“Kita ke pasar berangkat agak pagi dari biasanya ya Ran, soalnya ini ibu mau nganter pesanan jus wortel ke Pak Mardi.”


“Iya bu, kalau begitu ibu mandi aja dulu, biar itu aku yang melanjutkan.”


Tidak lama kemudian, Pak Amin setelah pulang dari masjid dan berganti baju, langsung menuju ke dapur, bergabung bersama anak dan istrinya.


“Kok sudah siap, mau berangkat pagi to?”


“Iya pak, Ibu mau nganter pesanan dulu katanya.”


“Yo wes, kalau gak sempat sarapan, ingatkan ibumu suruh bawa sarapan dari rumah. Bapak mau kasih makan ayam dulu.”


Enggeh pak.”


Begitulah rutinitas seharian Ranti dan keluarganya, Ranti bangun sebelum subuh kemudian membantu ibunya menyiapkan menu makan dan menyiapkan dagangan yang akan di bawa sang Ibu ke pasar, jika semua sudah selesai maka Ranti akan segera mengantar sang ibu ke pasar, kemudian pulang ke rumah mengerjakan pekerjaan rumah kemudian dia siang harinya ia akan menjemput sang ibu ke pasar. Begitulah keseharian Ranti, sudah hampir 3 bulan ia melakoni peran itu, bosan sudah pasti, tapi Ranti sadar bahwa ini semua adalah pilihannya.


❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤


“Ran, coba antar pesanan daging ayam Bu Narti ya.”


Begitulah kehidupan bertetangga, Ibunya Ranti tidak jualan daging ayam, karena setiap hari beliau pergi ke pasar, adakalanya tetangga nitip untuk dibelikan kebutuhan dapur kepada ibunya Ranti, karena ibunya Ranti sudah lama jualan di pasar, jadi bisa dapat harga lebih murah. Harga persahabatan itulah istilahnya.


Rumah bu Narti cukup besar, ia hanya tinggal berdua saja dengan istrinya, ketiga anaknya semua ada di luar kota bahkan anak sulungnya kini menetap di salah satu kota besar di pulau Kalimantan.


“Bu Narti, ini ayam pesanan ibu.” Kata Ranti, setelah dipersilahkan masuk ke dalam.


“Iya Rant, tunggu sebentar, kamu duduk dulu.”


“Mas Gilang sama Mas Anton gak pulang Bu?” kata Ranti sambil duduk di salah satu kursi di dapur bu Narti.


“Gilang sama Anton, udah 3 tahun gak pulang, selalu saja ada tugas dari kantornya.” Jawab Bu Narti sambil menyerahkan uang kepada Ranti.


“Terimakasih bu, kalau Mbak Bella bu?”


“Bella di Kalimantan, kemarin kasih kabar kalau mau nempuh pendidikan lagi. Anak ibu semua jauh-jauh Ran, padahal ibu sama bapak pengen mereka semua kumpul di rumah, tapi mau bagaimana lagi, mereka sudah punya kehidupan masing-masing.”


Ranti menanggapi perkataan Bu Narti dengan seulas senyum. Kemudian ia berkata “Saya pamit ya bu, makasih.“


❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

 

PICT BY CANVA

“Ranti, Ibu tadi sudah hubungi Bu Darmi, katanya beras yang biasa ibu pesan sudah siap. Kamu sekarang ke sana, sebelumnya kamu minta bapak uang untuk bayar beras, kamu minta Rp 200.000 ya.”


“Iya bu.” Jawab Ranti, kemudian dia bilang ke bapak yang sedang membaca buku sambil mendengarkan radio. Setelah menerima uang dari Bapak, Ranti langsung bergegas ke rumah Bu Darmi, dengan mengendarai motor, karena beras yang akan diambil sebanyak 20 kg.


“Assalamualaikum, Bu Darmi.” Ucap Ranti setelah sampai di rumah bu Darmi dan memparkir sepedanya di halaman bu Darmi yang sangat luas.


“Waalaikumsalam, ada apa Rant?” jawab Pak Tejo, suami Bu Darmi, yang sore ini kebetulan sedang membersihkan kandang burung.


“Bu Darminya ada pak?”


“Ibu masih belum pulang, tadi pergi ke rumah Pak RT. Kamu tunggu saja, paling bentar lagi balik.”


“Iya Pak, saya tunggu saja kalau gitu.”


“Kamu ini, di rumah saja, gak pengen pergi kemana gitu. Bapak Ibu mu sehat to.”


“Alhamdulilah Pak, Bapak dan Ibu Sehat. Saya masih di rumah aja belum kepikiran mau pergi-pergi lagi.”


“Terus, apa kesibukan mu di rumah? kamu dulu lulusan apa to?”


“Di rumah saja pak bantu ibu. Dulu lulusan ekonomi saya pak.”


“Ijazahmu, sayang lho Ran, kalau kamu di rumah saja.”


“Iya Ranti, bener kata pak Tejo itu, kamu kan kuliah dulu mahal, sekarang kok di rumah saja.” Bu Darmi tiba-tiba muncul dan langsung ikut terlibat nimbrung obrolan Pak Tejo dan Ranti.


Ranti sudah sering mendengar pertanyaan seperti itu, jadi ia sudah tidak kaget lagi.


“Pak, tolong bantu Ranti bawa berasnya sampai di motor saja.”


“Ini uangnya Bu, Makasih banyak dan saya permisi dulu. Mari Pak Tejo, Bu Darmi.”


❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤


Ranti yang ada di dalam rumah, mendengar bahwa ibunya sedang ada tamu, mereka sedang ngobrol di teras depan.


“Kasihan ya Bu, Pak Karno dan Bu Karti, dua-duanya sakit, tapi anak-anaknya semua jauh.”


“Lha, mau gimana lagi bu, Eko dan Darma kan sekarang sudah sukses di sana, mereka sudah menikah dan punya anak.” Dari suaranya Ranti tahu bahwa ibunya yang mengatakan itu.


“Tapi, kalau sakit sendirian gitu, gak enak ya Bu, kalau sakit gitukan pengennya di tunggu sama anak dan cucunya.”


“Semoga kita semua sehat ya Bu, nanti dengan ibu-ibu RT mau jenguk Pak Karno dan Bu Karti jam berapa?”


Obrolan antara Ibu dan temannya itu, mengingatkan Ranti akan kejadian beberapa bulan yang lalu.




“Ran, kamu bulan depan dapat promosi untuk jadi pimpinan cabang di Kalimantan. Kamu siapkan segala keperluanmu dan selesikan urusanmu dengan para klien paling nggak satu minggu sebelum kamu berangkat ke sana, semua urusanmu sudah harus beres.”


Ranti mendengar dengan jelas apa yang sedang dikatakan oleh pimpinanya itu. kemudian tanpa mengatakan apapun Ranti menyerah amplop putih kepada pimpinanya itu.


“Apa ini Ran.”sambil membuka amplop putih, Ranti dapat melihat ada sorot mata terkejut dan kecewa menjadi satu.


“Kamu yakin dengan keputusanmu.”


“Saya yakin dengan keputusan saya 100% pak, saya sebelumnya meminta maaf yang sebesar-besarnya kalau membuat kecewa bapak.”


“Benar kamu memang membuat saya kecewa, tapi karena ini pilihanmu bapak tidak bisa berbuat apa-apa.”


Mengundurkan diri saat karier sedang dipuncak, dan memutuskan untuk 100% menemani kedua orangtuanya adalah keputusan yang dibuat oleh Ranti. Baginya uang tidak bisa mengganti keberadaanya di samping bapak dan Ibunya.

 

----- SELESAI-----


Seperti sebuah kalimat yang mungkin sering kita lihat berseliweran di media sosial, kurang lebih seperti ini “JANGAN SAMAKAN STANDARD HIDUPMU DENGAN STANDARD HIDUP ORANG LAIN.”


{CERPEN} KUE UNTUK RAKA

{CERPEN} KUE UNTUK RAKA

 


“Buk, ini nasi kuning dari siapa?” Tanya Raka kepada Ibunya. Ia baru pulang dari bermain sepeda, ia yang kehausan segera mengambil air minum di teko yang selalu Ibu letakkan di meja di dekat pintu pembatas antara dapur dan ruang tamu. Saat minum itulah dia melihat nasi kuning yang dibungkus mika bening dan di taruh di dalam tas kresek yang sepertinya di gantungkan oleh ibunya di paku yang entah sejak kapan Raka tidak tahu, yang ia tahu kalau ada makanan untuk dirinya dan ia sedang tidak ada di rumah, maka ibu akan menggantungkannya di tempat ini.

“Itu nasi kuning dari Hendra, tadi katanya ia hari ini ulang tahun yang ke-10.” Jawab sang ibu sambil menguleni adonan kue donat yang akan dijual di pasar besok pagi.

“Ini aku makan nanti pulang mengaji ya buk?”

“Iya kamu makan buat makan malam aja, udah segera mandi sana, nanti ibu nitip donat ya, kasihkan ke Bu Warni.”

“Siap ibuk, laksanakan.”

***

“Buk, nanti aku kalau ulang tahun aku nggak mau pakai nasi kuning, aku maunya kue warna biru terus ada gambarnya ranger biru.”

“Memang ulang tahunmu kapan?”tanya Ibuk sambil mengusap-usap rambut Raka, Raka yang sudah menguap berkali-kali tapi entah mengapa masih belum mau memejamkan mata, bahkan ia masih semangat menceritakan rencana ulangtahunnya.

“Tahu aku buk, saat Bapak pulang ke rumahkan?, berarti itu waktunya aku ulangtahun, iya kan bu? Aku benarkan?”

“Pinter anak Ibu. Ya sudah kamu tidur, kalau kamu ngomong terus kapan kamu tidurnya, kalau kamu tidak tidur ibu bisa kesiangan besok ke pasarnya.”

Raka yang meringis kemudian memeluk erat ibunya, dalam hitungan ketiga deru halus nafas Raka sudah terdengar.

Esok dari pasar mungkin sebaiknya ia menghubungi Bapaknya Raka, memastikan apakah ia bisa pulang atau tidak. Hanya itu yang terlintas dalam benaknya. Mengecewakan Raka adalah hal yang paling tidak ia inginkan.

Seperti dua tahun sebelumnya, ternyata ia tidak bisa janji untuk pulang tahun ini, pekerjaan selalu menjadi alasan dia bertahan di sana. Demi aku dan Raka itu yang selalu ia katakan kepada ku saat aku menghubunginya.

****

“Ibuk, tadi aku ketemu bu Minah, katanya nanti sekitar jam 7 malam, Bapak mau telpon. Jadi kita di suruh ke rumah bu Minah bu?”

Sarmi yang sedang menggoreng donat, tidak bisa menyembunyikan rasa kegembirannya. Sarmi berdoa dalam hatinya semoga Mas Kardi membawa kabar baik untuk aku dan untuk Raka.

“Bapak apa mau kasih tahu, kalau mau pulang ya Bu? Horeeee aku ulang tahun dong Bu ya?”

“Berdoa saja semoga bapakmu pekerjaanya lancar jadi bisa pulang ke rumah. ya.”

“Ya allah, lancarkan pekerjaan bapak, aku ingin ulang tahun dengan kue warna biru yang ada gambar ranger birunya ya ALLAH. Aamiin.”

Sepulang dari rumah Bu Minah, Raka tidak ada hentinya bercerita bahwa sebentar lagi ia akan ulang tahun, ia tidak sabar akan memilih sendiri kue ulang tahunnya, sementara Raka bercerita tanpa jeda, Sarmi masih memikirkan apa perkataan suaminya tadi. “Dek, aku usahakan dua minggu lagi pulang, jadi bisa pas dengan hari ulang tahun Raka. Tapi kalau tidak bisa, aku tidak tahu kapan bisa pulang untuk bertemu denganmu dan Raka. Mas rindu sekali denganmu dan Raka. Baik-baik di sana ya.”

Sarmi tidak sempat menayakan apa maksud dari perkataan Kardi, karena setelah mengatakan itu Kardi langsung menutup telepon meninggalkan Sarmi dengan beribu pertanyaan yang singgah dipikirannya.

*****

Kue ulang tahun warna biru dengan gambar ranger biru, terletak begitu manis di tengah ruang tamu yang sangat sederhana itu. Ada lilin berbentuk angka 9 yang ada nyala api kecil di atasnya. Kue ulang tahun itu milik Raka, ia bersama beberapa temannya duduk melingkar untuk merayakan ulang tahun Raka. Kebahagian jelas terlihat dari raut wajah Raka dan semua teman-temannya yang hadir dalam ulang tahun itu.

“Berdoa dulu Raka, sebelum tiup dan potong kuenya.”

“Ya ALLAH, terimakasih untuk kue ranger birunya, meskipun Bapak tidak jadi datang, semoga bapak di sana juga bahagia kayak aku dan ibu di sini. Aaamiin.”

Satu bulan waktu yang Sarmi berikan untuk menunggu kedatangan Kardi. Tidak ada kabar lagi setelah malam itu. Apapun alasan yang membuat Kardi bertahan di tanah rantauan Sarmi dan Raka berharap bahwa Kardi akan selalu baik-baik saja.




“Raka, Bapak gak jadi datang. Ini sudah lewat dari tanggal yang Bapak janjikan. Tapi kamu tidak usah bersedih atau kecewa, karena kue ulang tahun warna biru tetap akan Ibu berikan untukmu.”

“Meskipun tanpa kedatangan Bapak Bu?”

“Iya, meski Bapak nggak datang, kamu harus bahagia itu janji Ibu kepada Bapak. Dan Bapak pun selalu ingin kau bahagia.”

“Tapi nanti Bapak pasti datang dan aku ulang tahun lagi kan Bu?”

“Pasti Nak, Bapak pasti datang dan kita bertiga akan merayakan ulang tahunmu lagi.”

Karena sejatinya kebahagian itu adalah bersumber dari diri sendiri, bukan karena orang lain. Terlalu kecil bagi Raka untuk memahami arti bahagia itu, Sarmi memahaminya tapi ia bisa apa. Bahwa Bapaknya akan kembali, itu saja cukup yang Raka tahu bukan yang lain.

--End--


Cerita ini adalah fiksi yang diikutsertakan dalam Lomba Blog Menulis Fiksi “Ulang Tahun” yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Semarang Gandjel Rel"


info lombak silahkan cek di sini : www.gandjelrel.com


Formulir Kontak