MITOS DAN CARA MENYIKAPINYA
Sebuah mitos yang ada di masyarakat
muncul atau ada jauh sebelum kita lahir. Entah dari zaman nenek moyang kita
yang ke berapa. Karena memang tidak bisa diukur dengan pasti. Pasti tidak asing
bukan dengan kalimat ini “Kata nenek
zaman dulu”.
Zaman dulu ya zaman dulu, jangan
samakan zaman dahulu dengan zaman sekarang yang semua serba internet, pasti
banyak yang sepemikiran dengan kalimat tersebut.
Lalu bagaimana kita harus bersikap
saat dihadapkan pada mitos yang mau tidak mau membawa kita harus berhadapan
dengan kedua orang tua dan pandangan masyarakat?
Meski banyak juga sebenarnya orangtua
yang juga sudah berfikir modern dan menyerahkan semuanya kembali kepada kita,
masyarakat pun juga seperti itu, banyak juga mereka yang berfikir bahwa hal ini
termasuk urusan pribadi setiap orang jadi mereka tidak berhak untuk turut
campur atau menghakimi mereka.
![]() |
sumber : pixabay |
Kalau aku pribadi lebih memilih jalur
tengah atau bisa dikatakan sebagai bentuk menjaga diri sendiri atau anak kita.
Semisal contoh seperti berikut ini :
Waktu ke pantai Balai Kambang di
Malang, ada peraturan tertulis bahwa perempuan yang sedang dalam keadaan haid
di larang masuk ke dalam pura. Ada temanku yang bilang “Gak usah percaya Da, itu mitos. Lagian kamu bilang katanya udah mau
suci.” Suci disini maksudnya periode haid bulan bersangkutan sudah mau
selesai.
Aku lebih memilih, nunggu di jembatan,
karena kalau memaksa tetap naik. Kalau aman gak masalah kalau terjadi sesuatu
siapa yang dirugikan. Lagian itu sudah jelas kan aturannya. Ibarat kata kalau kita
masuk rumah orang kan ada sopan santunnya dan setiap rumah punya aturan dan
cara sendiri bukan?
Pernah dengar mitos, kalau istri hamil
maka suami dilarang untuk memotong ayam (ambil contoh yang paling gampang).
Waktu itu tiba-tiba ibu ingin menyembelih
ayam dan memasaknya. Kebetulan kakak laki-laki istrinya hamil, meski udah
dilarang sama ibu dia nekad tetap mau bantu untuk menyembelih ayam, ibu udah
marah-marah, tiba-tiba kakak laki-laki aku yang satunya bilang “Yen koe ora percoyo mitos e ora popo, tapi
paling nggak turutono perintahe sibu.” (Kalau kamu gak percaya mitos itu tidak
apa-apa, tapi setidaknya turuti apa perintah ibu).
Akhirnya kakak laki-laki aku yang
istrinya hamil, tidak jadi ikut menyembelih ayam, setelah mendengar apa yang
dikatakan sang kakak. Nuruti apa yang dibilang orang tua juga tidak ada
ruginya.
Atau pernah mendengar kata “sawan”, kalau di tempat aku biasanya
anak bayi atau balita dilarang ke luar rumah kalau ada tetangga sekitar yang
meninggal atau iring-iringan pengantar jenazah. Bahkan ada beberapa orang yang
misal di rumah ada anak balita, pantang masuk rumah sebelum mandi dan ganti
baju setelah pulang dari takziah. Ini biasanya disebut ” sawan wong mati” ada juga “Sawan
manten” biasanya kalau ada anak kecil yang diajak ke pernikahan dimintai
bedak yang dipakai si pengantin perempuan biar tidak kena sawan manten.
Dari tetangga ada yang cerita kalau
saudaranya ada yang kena sawan wong mati, dia bilang si anak cuma di kasur
saja, nangis terus dan tubuhnya lama-lama jadi kurus, atau kalau di sini
disebut mbathang (seperti orang yang
mau meninggal). Biasanya kalau kena sewan itu setelah dibawa ke dukun pijat
biasanya akan sembuh dan anak kembali ceria.
![]() |
sumber : pixabay |
Ada lagi yang bilang, dia percaya gak
sawan-sawan gitu, karena setiap pulang takziyah dia nggak perlu mandi atau
ganti baju, kalau mau gendong anaknya ya langsung gendong aja, dan tidak ada
yang terjadi dengan anaknya.
Kalau pendapat aku pribadi, aku
sarankan kalau punya balita, sebelum menggendong atau menghampiri mereka lebih
baik ganti baju dengan baju bersih dan setidaknya cuci kaki dan tangan. Karena
balita masih sensitif, dia masih peka, kita tidak tahu jenis kuman atau virus
apa yang menempel di baju kita, tangan kita atau kaki kita.
Sama halnya ketika kita habis pulang
kerja atau berpergian, bau keringat, debu, asap rokok, asap kendaraan, semua
berkumpul jadi satu nempel di tubuh kita. Belum lagi rasa lapar, beban
pekerjaan kantor, emosi yang tidak stabil. Bayangkan ?
Aku sempat berfikir, dulu mungkin
orang belum tah virus atau bakteri atau kuman, jadi kalau ada yang sakit
ujung-ujungnya larinya ke dukun. Badan kita kotor habis aktivitas seharian di
luar rumah, lalu pas pulang tiba-tiba gendong anak kecil, lalu keesokan harinya
si kecil tiba-tiba sakit. Kalau zaman dulu pasti kata orang pintar si anak kena
sawan.
Aku percaya pada hal-hal yang gaib,
karena percaya kepad hal-hal yang gaib memang sebagian dari iman. Aku percaya
ada makhluk lain yang tak kasat mata yang ada di sekitar kita. Kalau kata bapak
aku “Meski alam kita dan mereka berbeda,
tapi jangan pernah menantang mereka, kalau kita nggak punya ilmu untuk
menghadapi mereka.”
Kita punya agama, kita punya akal
untuk berfikir, kita punya logika, nalar dan ilmu. Gunakan itu sebagai dasar
untuk kita berfikir sebelum melakukan tindakan.
Takdir memang sesuatu yang sudah pasti dan tidak bisa dirubah, tapi kita tetap wajib untuk berusaha bukan?