{CERPEN} APA ISI TAS MU?

 


Tas buntut yang warnanya sudah tidak bisa didefinisikan itu, dipeluk erat oleh sang empunya. Kaki gemetar padahal udara tidak terlalu dingin, mungkin ia takut karena tiba-tiba panitia melakukan sidak terhadap tas bawaan masing-masing peserta.


Ia bisa apa? tinggal beberapa orang lagi adalah gilirannya. Sungguh jika bisa ia ingin lari sekencang-kencangnya dari tempat ini dan bersembunyi di tempat yang paling aman. Tapi di mana tempat itu?


Ketakutannya membawa dirinya kepada kejadian beberapa jam yang lalu. Beberapa jam yang mungkin akan mengubah nasibnya, entah berubah menjadi baik atau malah lebih buruk dari tas peninggalan sang kakak yang sudah bertahun-tahun menemaninya itu.


“Nduk, kamu jadi berangkat siang ini to?”


“Nggeh Bu, saya berangkat siang. Nanti mungkin bareng sama Tari aku berangkatnya.”


Si ibu hanya mengangguk dan kemudian mengambil tas selempang yang ia ketahui sekarang sudah berpindah kepemilikan, dari sang kakak berpindah kepada adiknya.


Tas selempang yang ditaruh di kursi dipan itu, segera di taruh di dalam pangkuannya. Warnanya sudah pudar tapi kainnya masih tampak kuat, resleting dan beberapa kancing yang melekat juga masih bisa bertahan meski sudah puluhan tahun menemani.


“Kamu bawa apa aja, jangan lupa kemarin yang ibu kasih tahu? “

“Iya bu sudah, ini bukan perjalanan aku yang pertama kan bu. Tapi ibu masih saja khawatir aku, terutama benda itu.”


“Iya, Maafkan ibu ya, ibu cuma khawatir itu saja.”


Dibukanya tas yang ada di pangkuannya, meski sudah beberapa kali anaknya berpergian tapi ia masih saja terus melakukan hal itu, memeriksa tas selempang bawaan anaknya.


“Hand Sanitaizer, Masker Cadangan, Buku note, pulpen,  Mukena, Botol minum, Tisue. Semua sudah kamu bawa. Tapi tunggu 2 wadah plastik yang sudah ibu siapkan di mana?”


“Iya Bu, tenang ini sedang aku ambil di dapur. Ini kan yang selalu ibu berikan kepadaku setiap aku mau meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama. Mana mungkin aku lupa.”


Si Ibu tersenyum sambil menerima 2 wadah plastik yang baru saja diambil dari dapur dan memasukkannya ke dalam tas bercampur dengan masker, tisue dan sebagainya itu.


“Kamu hati-hati ya Nduk di sana. Jangan aneh-aneh, jangan melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri atau merugikan konco-koncomu.”


“Siap Bu, Aku berangkat setelah makan siang bu, nanti Tari juga mau mampir sekalian pamitan dengan Ibu juga.”


Dan kini dia sekarang di sini, bersama Tari dan teman-teman yang lain, mereka sedang mengikuti pelatihan dari tempat kerja mereka. Tapi saat para peserta akan berisitirahat di kamar setelah mereka selesai makan malam di hotel tempat mereka menginap, panitia membuat kejutan, bahwa semua peserta harus datang ke salah satu ruangan yang di hotel itu, ruangan itu tampak seperti aula, yang sangat luas dan tentunya dingin.


“Kalian semua tahu kenapa dikumpulkan di ruangan ini.” Jeda sejenak ia melanjutkan perkatannya.


“Saya kecewa pada kalian semua, acara pelatihannya saja belum di mulai, tapi salah satu dari kalian ada yang membuat ulah dan merugikan kita semua. Seharusnya ini kalian bisa duduk santai sambil nonton tv di kamar hotel, tidak seperti ini malah disuruh datang ke ruangan ini.”


Seketika bisik-bisik di ruangan itu terdengar dan menimbulkan suara bising.


“Braaaaaak”


Gambar oleh Goran Horvat dari Pixabay


Suara meja itu membuat semuanya diam seketika. Tidak ada yang berani mengucapkan sepatah katapun, semua menunduk dan deru nafas merekapun tampak pelan, raut wajah merah dan sepertinya semua ketakutan.


“Selepas kalian makan malam, salah satu dari kalian ada yang melapor kepada panitia, bahwa ia kehilangan sebuah kalung, dia mencurigai salah satu dari kalian semua adalah yang mengambilnya. Maka dari itu kami selaku panitia mengumpulkan kalian di sini dan akan memeriksa tas kalian masing-masing, setuju tidak setuju ini adalah perintah.”


“Silahkan berbaris yang rapi, pegang tas kalian masing-masing, ada akan ada giliran untuk memeriksa tas kalian. Lakukan !!!”


Satu persatu tas para peserta sudah di periksa, tinggal beberapa orang lagi yang belum di periksa,dan tanda-tanda kalung itu ditemukan belum terdeteksi.


“Maaf Dek, bisa saya buka tasnya.” Mungkin hanya ini panitia yang masih bersuara pelan dan tidak membentak, terdengar tulus.


Dia masing memegang erat tasnya, tiga kali kakak panitia meminta tasnya bahkan tidak digubrisnya sama sekali. Dan tinggal dirinya saja yang belum diperiksa. Tiga panitia laki-laki datang mendekat, semua yang ada diruangan ini memandang ke arahnya, dia masih menunduk dan tidak mau menyerahkan tas usang itu. Semua menatap curiga, dan bisikan kecil akan kemungkinan terburuk semakin berkembang bebas.


Ketiga panitia berhasil menarik tas dari genggamannya meski dengan sedikit paksaan. Karena sedikit emosi, salah satu panitia itu tidak memerikasanya dengan hati-hati, tapi langsung mengeluarkan semua isi tas dengan cara tas di buka dan diangkat di atas meja, tidak peduli bagaimana nantinya apakah ada barang yang rusak atau tidak.


Dalam hitungan detik, semua isi di dalam tas keluar, ada yang pas mendarat di meja, tetapi ada juga yang jatuh ke lantai, semua tampak berhamburan. Si empunya tas masih tetap menundukkan kepalanya.


Dua wadah plastik menjadi perhatian para panitia. Salah satunya membuka wadah itu dan terkejut melihat isi di dalamnya.


“Kamu sakit apa, kenapa bawa obat sebanyak ini.” dia masih menunduk, dia tahu bahwa mungkin dalam hitungan detik salah satu dari panitia atau salah satu dari peserta akan tahu rahasianya. Keringat dingin sudah membasai sekujur tubuhnya, ia ingin lari dan berteriak dan menangis. Sungguh ia tidak suka dengan keadaan seperti ini.


Gambar oleh Reggi Tirtakusumah dari Pixabay


Seseorang mengambil obat itu dan membacanya merk obat itu, ia sangat terkejut terlihat dari sorot matanya. “Obat anti depresan dosis tinggi.” Ucapnya dalam hati setelah mengetahui jenis obat yang ada di dalam wadah plastik. Kemudian ia melihat dan menatapnya, tubuhnya tampak bergetak,keringat dingin sudah tampak di wajahnya. Tanpa ada yang menyadari mulutnya tampak menggumamkan sesuatu tapi tidak ada yang mendengarnya. Ia harus menghentikan acara sidak ini, itu yang ada dalam pikirannya, tapi sebelum ia mengatakan itu dia dikejutkan oleh sebuah suara, reflek ia menoleh ke arah sumber suara.


“Apakah kalung mu seperti ini?” Panitia itu mengakat tinggi-tinggi kalung yang ditemukan di dalam wadah plastik satunya. Seseorang mendekat dan mengambil kalung itu, kemudian ia mengatakan “ia kak, ini persis dengan kalung saya yang hilang.”


Dia mendengar dengan jelas apa yang dikatakan teman pesertanya itu,  panitia yang tampak mengerti akan jadi seperti apa jika ini diteruskan, berusaha untuk meminta pengertian kepada semua panitia. Kemudian dia mendekat kepada peserta yang masih diam meski tasnya sudah diacak-acak dan semua mata dengan tatapan menuduk jelas dialamatkan kepadanya.


“Dek, kita kembali ke kamar yuk. Sambil menyerahkan tas yang sudah ia beresi.”


“Aku tidak mencuri, dia yang jahat, aku tidak mencuri dia yang jahat. Aku tidak mencuri dia yang jahat.” Kini ia bisa mendengar dengan jelas apa yang digumamkan anak itu.


****




“Dek kamu jaga kalung ini ya, punya kakak kan sudah hilang,  jadi nanti kalau kau melihat seseorang memakai kalung yang sama dengan ini, kamu jangan harus segera lari, karena dia orang jahat.” Setelah mengatakan itu sang kakak pergi untuk selama-selamanya.

 

-----End------



Tidak ada komentar

Terimakasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak. j