PART 1
DONI
“Mas Doniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.”
Teriakan kencang adik perempuanku
satu-satunya menggema di rumah ini. Pagiku selalu diawali dengan teriakan
Bella. Kulihat jam dinding bergambar logo salah satu bank swasta di Indonesia
sudah menunjukkan pukul 07.00.
Mungkin bagi beberapa orang kebanyakan
pagi selalu dimulai dari aktivitas bangun pagi. Tapi bagiku, Bella dan
teriakannya adalah kombinasi yang pas untuk mulai hari. Setiap pukul 07.00 pagi
atas perintah ratu rumah untuk memanggilku sarapan, Bella selalu berteriak dari
dapur. Padahal sang Ratu tidak pernah menyuruh untuk memanggil dengan cara
berteriak.
“Ibu kan udah pernah bilang, jangan
teriak kalau manggil mas mu, datangi ke kamarnya dan ketuk pintunya, itu lebih
baik dan kamu ini perempuan. Ya Tuhan kenapa kamu jadi kayak tarzan yang hidup
di hutan.”
“Aduch Ibu ini ya, Mas Doninya aja
yang manja. Udah tahu kalau jam 7 pagi harus sarapan pagi bareng, terus aja
tiap hari minta diteriakin. Mau sampai kapan, mau sampai tempe jadi kedelai
lagi.”
Dan itulah setiap pagi selalu saja
begitu. Ibu yang tak pernah bosan menyuruh Bella memanggil ku meski selalu
dilakukan dengan teriak dan aku yang selalu turun setelah mendengar teriakan
Bella. Dua wanita yang sudah seperti udara bagiku.
Aku tinggal hanya dengan para bidadari
calon penghuni surga. Ibu dan Bella. Ayah sudah meninggal sejak 5 tahun yang
lalu. Kami bertiga tinggal di sebuah rumah yang berlantai dua yang cukup
sederhana. Aku dan Bella menempati kamar yang ada di lantai atas. Sementara semua
aktivitas di rumah ini ada di lantai bawah. Ibu sudah setahun ini hanya di
rumah saja, sebelumnya Ibu jualan soto ayam di kios yang letaknya ada di depan
pasar. Karena sering merasa lelah dan tangannya sering merasa kram, akhirnya
aku dan Bella menyarankan kepada Ibu untuk istirahat di rumah saja. sementara
Bella, adik ku yang bandel itu udah tahun kemarin lulus SMA, sekarang sedang
merintis usahanya sendiri yaitu jualan hijab, waktu aku bilang gak usah jualan
tapi bantu-bantu di cafe aja, katanya dia gak ingin diperintah, meskipun baru
merintis dia bilang, dia sudah jadi bos. Kalau Mas Doni aja bisa jadi bos
kenapa aku gak bisa. Lantai bawah sebagian ruangan sudah disulap menjadi toko
milik Bella, ada ruang tamu kecil, diantara ruang tamu dan meja makan ada sekat
berupa lemari hias tempat ibu menaruh foto-foto kenangan.
“Don, nanti ibu ikut kamu berangkat ke
cafe ya, tapi ibu turun di pasar, mau belanja.”
Ibu berkata kepadaku setelah aku duduk
di kursi dan mengambil menu sarapan pagi ini yang sangat enak. Ada pecel bayam
dan kacang panjang sementara lauknya ada tempe yang dibalur tepung dan tak
ketinggalan setoples kerupuk.
‘Ibu sendirian aja ke pasarnya, kenapa
gak ngajak Bella Bu.”
“Aku masih belum selesai bungkus
barangnya Mas, nanti aku jemput ibu. Soalnya pesanan ini harus sudah dikirim
sebelum jam 10 pagi. Nanti habis dari tempat pengiriman aku jemput ibu ke
pasar.”
“Ya sudah kalau begitu, Oh ya Bu dan
Bella, nanti kemungkinan besok aku mau rilis menu baru di cafe, hari ini
percobaan terakhir, rencananya mau dicoba ke beberapa pengunjung cafe, doakan
sukses dan semua suka ya Bu dan Bella.”
Bella yang masih mengunyah makanannya
Cuma mengacungkan dua jempolnya sementara ibu tersenyum dan mengelus puncak
kepalaku. Aku tahu dibalik itu semua mereka pasti mendoakan yang terbaik untuk
ku dan pastinya mereka juga tahu kesedihan yang aku rasakan.
******
“Mas Doni, bagaimana persiapan menu
baru cafe kita.” Tanya Agus, salah satu karyawan di cafe ini.
“Kemarin, kata anak-anak gimana waktu
nyoba?”
“Mereka bilang sih enak Mas Doni,
malah Siska dan Reno itu rebutan mau nambah lagi dan mau bawa pulang juga.”
Aku tertawa membayangkan Siska dan
Reno, dua karyawan aku yang tampak kayak kucing dan anjing tapi nempel kayak
perangko dan amplop surat. Sementara Siska dan Reno salah tingkah, seperti
mereka berdua tidak menduga bakalan di laporkan.
“Ya udah berarti memang enak. Ya sudah
hari ini percobaan terakhir dan kita coba ke beberapa pengunjung hari ini.”
“Oke Mas Doni. Kami siap.”
Kini aku dan beberapa karyawan ku
sedang kumpul bersama di meja yang biasanya menjadi tempat anak-anak untuk
menyiapkan keperluan cafe. Jika di perkantoran mungkin apa yang aku lakukan
disebut metting pagi. Hal ini selalu
aku lakukan agar aku dan semua karyawan tahu apa-apa saja yang akan kami
lakukan hari ini.
Cafe CANGKIR KOPI, aku dirikan setahun setelah bapak meninggal. Semua
menu di cafe ini adalah menggunakan bahan dasar kopi. Aku, Bapak, Ibu dan Bella
semua pecinta kopi. Bahkan menurut Ibu kakek nenek dari pihak Bapak juga
merupakan pecinta kopi. Cangkir Kopi memilik 5 karyawan. Aku sebagai owner juga
merangkap sebagai koki utama dan satu-satunya di cafe ini. Satu orang dibagian
kasir dan menerima pesanan dari pembeli. Sementara sisanya adalah pelayan.
Sedangkan aku cukup dibantu oleh Agus.
Cafe ini aku bangun dengan seganap
hati dan pikiran ku. Aku ingin mewujudkan cita-cita kakek, bapak waktu itu
pernah bilang bahwa kakek ingin punya sebuah kedai kopi. Cangkir Kopi adalah
bukti bahwa aku bisa mewujudkan impian kakek. Butuh perjuangan yang tidak
sedikit untuk membuktikan bahwa cafe ini memang layak diperhitungkan.
Perjuanganku tidak sia-sia. Cafe ini
meskipun masih kecil tapi tiap hari selalu ramai pengunjung.
******
“Mas Doni, bagaimana menu barunya
sudah siapkah?, kalau sudah siap mungkin bisa kita coba berikan kepada
pengunjung siang ini.”
Aku mengacungkan dua jempolku ke arah
Agus, bahwa menu barunya sudah siap untuk dihidangkan ke beberapa pengunjung.
Menjelang jam makan siang, biasanya
jumlah pengunjung memang lebih banyak. Aku melepas apron hitam yang melekat di
tubuhku sejak tadi pagi.
Tepukan tangan Agus di bahu belakangku
sedikit membuat aku kaget. Sambil mengkuti berjalan di belakangku, aku
rencananya ingin mengistirahkan badanku di ruangan ku. Tapi perkataan Agus
menghentikan langkahku.
“Mas Doni, mbak cappucinonya sudah
datang, sekarang sedang duduk di kursi dekat jendela.”
“Anak-anak pengen ngasih menu baru ke
Mbak Cappucino, Mas Doni gak ingin dengar langsung komentar dari pelanggan cafe
kita Mas?”
“Ya sudah, suruh mereka siapkan, nanti
biarkan aku saja yang ngantar ke mejanya.”
Agus langsung melesat ke arah dapur,
sedangkan aku sambil menunggu anak-anak menyiapakan hidangan. Aku melihat dari
jendela kaca ruangaku sosok perempuan yang selalu anak-anak sebut ‘mbak
cappucino’.
Ruangan ku memang sebagian sisinya ada
yang aku sengaja buat dari kaca tebal tembus pandang, jadi di satu sisi aku bisa
melihat anak-anak yang sedang bekerja dan di satu sisi aku juga bisa melihat
pelanggan yang datang.
Perempuan itu masih sibuk dengan
ponsel di tangannya. Sesekali ia menyingkap helaian rambut yang jatuh dan entah
kenapa gerakan yang mungkin menurut orang biasa itu begitu menarik bagiku.
-----tbc-----
Tidak ada komentar
Terimakasih sudah berkunjung dan meninggalkan jejak. j